Guru Honorer di Jakarta Pusat Dipecat Meski Telah Mendapatkan 31 Jam Mengajar
Seorang guru sedang mengajar di depan kelas dengan papan tulis putih, dikelilingi oleh siswa-siswi yang duduk di bangku dalam ruangan kelas berwarna hijau. |
Bberita.com - Seorang guru honorer di sebuah SMA negeri wilayah Jakarta Pusat, Rana (bukan nama sebenarnya), dipecat meski telah mendapatkan jadwal mengajar sebanyak 31 jam. Rana, salah satu dari dua guru biologi di sekolahnya, dimandatkan untuk mengajar tiga kelas tingkat 11 dan empat kelas tingkat 10 pada tahun ajaran baru.
“Senin kalau enggak salah tanggal 8 Juni 2024. Saya sudah dapat jam di SMAN itu, kurang lebih 31 jam, mengajar di kelas 10 dan 11,” ujar Rana saat dihubungi pada Kamis (18/7/2024).
Desas-desus mengenai kebijakan cleansing terhadap guru honorer di DKI Jakarta sudah terdengar oleh Rana sebelum pemecatan resminya. Melalui grup WhatsApp, Rana mengetahui banyak rekannya yang diberhentikan mendadak pada hari Senin.
Namun, dia dan satu guru biologi lainnya baru dipanggil ke ruang kepala sekolah pada keesokan harinya. Pada Selasa (9/7/2024), kepala sekolah sampai menelepon seseorang dari Dinas Pendidikan (Disdik) untuk menjelaskan kebijakan cleansing yang diberlakukan secara tiba-tiba.
“Pokoknya sampai orang dinas itu bilang, ‘iya bu, benar, mohon maaf ada cleansing bagi guru-guru yang tidak punya Data Pokok Pendidikan (Dapodik),” lanjut Rana.
Dilansir dari Kompas.com, melalui telepon, perwakilan dari dinas menyebutkan ada empat persyaratan yang harus dipenuhi agar guru honorer tidak diberhentikan.
Pertama, harus punya Dapodik. Kedua, belum punya sertifikasi. Ketiga, bukan ASN. Dan terakhir, harus punya Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
Berdasarkan syarat yang disebutkan, Rana tidak memenuhi salah satunya, yaitu belum memiliki NUPTK.
Pada hari itu juga, kepala sekolahnya bahkan mendatangi Disdik untuk melobi dan mempertahankan Rana, mengingat sekolah tersebut hanya memiliki dua guru biologi sementara ada 16 kelas yang membutuhkan pelajaran biologi.
Namun, Rana tetap diberhentikan karena tidak memenuhi syarat. Jauh sebelum kebijakan cleansing diterapkan, Rana sudah mencoba untuk mendapatkan NUPTK. Namun, untuk bisa mendapatkan NUPTK, seorang guru harus terlebih dahulu diangkat menjadi guru kontrak kerja individu (KKI).
Kasus ini menambah daftar panjang kontroversi terkait kebijakan cleansing yang dinilai tidak mempertimbangkan kebutuhan nyata sekolah dan keberlanjutan pendidikan siswa.
Kebijakan tersebut menuai kritik tajam dari berbagai kalangan yang menganggapnya tidak adil bagi guru honorer yang telah mengabdi dan memiliki kontribusi besar dalam dunia pendidikan.